Turki,Relasi.News – Presiden Recep Tayyip Erdogan akhirnya menang putaran kedua pemilihan presiden (pilpres) Turki yang digelar hari Minggu (28/5). Dengan demikian, dia berkuasa lagi sebagai presiden untuk periode ketiga.
Kepala Dewan Pemilihan Tertinggi Turki resmi mengumumkan bahwa Erdogan telah mengalahkan rivalnya, Kemal Kilicdaroglu. Ketua Dewan Pemilihan Tertinggi Ahmet Yener menjelaskan, Erdogan meraih 52,14 persen suara, sedangkan Kilicdaroglu meraih 47,86 persen suara. Presiden Turki petahana itu mengalahkan saingannya dengan selisih sekitar 2,2 juta suara.
Kami akan memerintah negara selama lima tahun mendatang,” kata Erdogan kepada para pendukungnya yang bersorak sorai dari atas bus di distrik asalnya di Istanbul, seperti dikutip Reuters, Senin (29/5). “Insya Allah, kami akan layak mendapatkan kepercayaan Anda,” katanya lagi.
Dia berterima kasih kepada orang-orang yang telah memberikan suara dan mengatakan dia menyelesaikan putaran kedua pilpres melawan Kemal Kilicdaroglu dengan dukungan mereka. Sejauh ini belum ada tanggapan dari Kemal Kilicdaroglu atas kemenangan Erdogan.
Pilpres kali ini telah dilihat sebagai salah satu yang paling penting bagi Turki, di mana pihak oposisi percaya mereka memiliki peluang kuat untuk menggulingkan Erdogan setelah popularitasnya dilanda krisis biaya hidup.
Sebaliknya, kemenangan ini akan memperkuat citra Erdogan yang tak terkalahkan, setelah menggambar ulang kebijakan domestik, ekonomi, keamanan, dan luar negeri di negara anggota NATO berpenduduk 85 juta orang itu dan memposisikan Turki sebagai kekuatan regional.
Kantor berita Anadolu dan kantor berita ANKA melaporkan hampir 99 persen kotak suara telah dihitung dan kemenangan Erdogan tak terelakkan lagi.
RESPON NATO DAN AMERIKA SERIKAT
Respons atas kemenangan Erdogan langsung datang dari Amerika Serikat (AS) dan NATO. “Selamat kepada Presiden Recep Tayyip Erdogan dari Turki atas terpilihnya kembali. Saya berharap dapat terus bekerja sama sebagai Sekutu NATO dalam masalah bilateral dan berbagi tantangan global,” tulis Presiden AS Joe Biden di Twitter.
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg men-tweet: “Selamat Presiden Erdogan atas terpilihnya Anda kembali. Saya berharap untuk melanjutkan kerja sama kita dan mempersiapkan KTT NATO pada bulan Juli.” Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen berkata: “Saya mengucapkan selamat kepada Erdogan karena telah memenangkan pemilihan. Saya berharap untuk terus membangun hubungan Uni Eropa-Turki. Sangat penting secara strategis bagi Uni Eropa dan Turki untuk bekerja memajukan hubungan ini, demi kepentingan rakyat kami.”
Erdogan mencapai prestasi yang belum pernah terjadi sebelumnya pada hari Minggu, memenangkan putaran kedua pilpres Turki dan memperpanjang kekuasaannya menjadi dekade ketiga. Di bawah kepemimpinannya, ketegangan meningkat secara dramatis antara Turki di satu sisi dan AS, Uni Eropa, dan NATO di sisi lain.
Erdogan semakin dalam beberapa tahun terakhir menggunakan kebijakan luar negeri yang lebih tegas yang bertujuan untuk meningkatkan pengaruh Turki di wilayahnya dan sekitarnya. Ketegangan Turki-NATO meningkat karena beberapa kebijakan internasional Ankara berbenturan dengan kepentingan aliansi, seperti yang dicontohkan oleh akuisisi kontroversial sistem pertahanan rudal S-400 Rusia.
Pembelian S-400 Rusia oleh Ankara telah menjadi titik pertikaian dengan AS dan NATO selama bertahun-tahun, dengan merujuk kekhawatiran bahwa sistem rudal itu akan membahayakan keamanan dan interoperabilitas operasi militer NATO. AS dan NATO telah memperingatkan Turki bahwa sistem S-400 tidak kompatibel dengan sistem pertahanan NATO dan dapat mengungkap informasi sensitif ke Rusia. Akibat penolakan Turki untuk mundur dari kesepakatan pembelian sistem tersebut, AS telah mengambil beberapa tindakan hukuman, termasuk menangguhkan Turki dari program jet tempur siluman F-35 pada 2019 dan menjatuhkan sanksi kepada pejabat dan entitas Turki yang terlibat dalam pembelian S-400. Sementara itu, anggota Uni Eropa dan NATO menyatakan keprihatinan mendalam atas kebijakan domestik Erdogan. Tuduhan kemunduran demokrasi, sensor media, dan pelanggaran hak asasi manusia telah memicu kritik Barat terhadap Turki, yang memandang tindakan itu berbeda dari nilai-nilai bersama NATO dan Uni Eropa. (*/jp/ant)